14 November 2011

Manusia dan Alam Semesta Sebuah Dialektika Keberagaman antara Logika dan Etika

Manusia sesungguhnya memiliki bentuk kesadaran dan pikiran yang sangat luar biasa dalam memahami dan menganalisa gambaran-gambaran mengenai proses dan bentuk penciptaan manusia dan alam semesta. Untuk memahami sifat sesungguhnya dari kesadaran dan masyarakat manusia, sebagaimana diungkapkan oleh Marx, persoalannya adalah “bukan berangkat dari apa yang dikatakan, dikhayalkan, atau dibayangkan oleh manusia, agar sampai pada yang namanya manusia dengan bentuk seperti sekarang; melainkan berangkat dari manusia riil (nyata) dan aktif, dan berdasarkan basis proses-kehidupan riil manusia yang menunjukkan perkembangan refleks-refleks dan gaungan-gaungan ideologis dari proses kehidupan ini. Bayangan-bayangan yang terbentuk dalam otak manusia adalah juga gambaran-gambaran dari proses-kehidupan material, yang secara empiris dapat dibuktikan kebenarannya dan terikat pada premis-premis(dalil) material. Jadi, moralitas, agama, metafisika, dan segala macam ideologi serta bentuk-bentuk kesadaran yang berhubungan (serupa) dengan itu, tidaklah independent (bebas). Dan sebenarnya tidak memiliki sejarah, tidak memiliki perkembangan; tetapi manusia, yang mengembangkan produksi material dan hubungan material mereka, mengubah – seiring dengan eksistensi riil mereka – pemikiran dan produk-produk pemikiran mereka. Karena kehidupan tidak ditentukan oleh kesadaran, tetapi kesadaran ditentukan oleh kehidupan. Manusia dengan etika yang dimilikinya mengeluarkan kemampuan mereka untuk memikirkan kontradiksi yang tercipta dari suatu bumi. masih dapat disangsikan apakah mayoritas ilmuwan-ilmuwan alam akan begitu cepat menyadari kontradiksi dari suatu bumi yang berubah padahal dianggap mengandung organisme-organisme kekal (immutable = tidak berubah-ubah), seandainya menyingsingnya konsepsi bahwa alam tidak saja ada, melainkan telah menjadi berada dan menjadi tidak berada, tidak mendapatkan dukungan dari suatu sumber lain. Geologi telah bangkit dan menunjukkan bahwa, lapisan-lapisan bumi tidak saja terbentuk secara berurutan dan didepositkan satu di atas yang lainnya, melainkan juga kulit-kulit (selongsong) dan kerangka-kerangka tulang binatang-binatang yang sudah punah dan pokok-pokok batang, dedaunan dan buah-buahan tanaman-tanaman yang sudah tiada lagi yang terkandung dalam lapisan-lapisan itu. Orang harus menetapkan pikirannya untuk mengakui bahwa tidak hanya bumi sebagai suatu keutuhan, melainkan juga permukaannya yang sekarang dan tanaman-tanaman dan binatang-binatang yang hidup di atasnya memiliki suatu sejarah dalam waktu. Banyak pemikiran-pemikiran atau ilmu-ilmu pengetahuan mengenai antarketerkaitan-antarketerkaitan (inter-connections), berlawanan dengan metafisika. hukum-hukum dialektika diabstraksikan dari sejarah alam dan masyarakat manusia. Karena hukum-hukum itu tidak lain yalah hukum-hukum yang paling umum dari kedua aspek perkembangan historikal, maupun dari pikiran itu sendiri. Dalam gaya idealis yang di kembangkan oleh Hegel sebagai sekedar hukum-hukum pikiran: yang pertama, dalam bagian pertama karyanya Logic, dalam Doktrin mengenai Keberadaan (Being); yang kedua mengisi seluruh bagian kedua dan bagian yang paling penting dari Logic, Doktrin mengenai Hakekat (Essence); akhirnya, yang ketiga merupakan hukum fundamental bagi rancang- bangun seluruh sistem itu. Kesalahannya terletak pada kenyataan bahwa hukum-hukum ini disisipkan pada alam dan sejarah sebagai hukum-hukum pikiran, dan tidak dideduksi dari situ. Inilah sumber dari seluruh pendekatan yang dipaksakan dan seringkali melampaui batas (keterlaluan); semesta-alam, mau-tidak-mau, mesti bersesuaian dengan sebuah sistem pikiran yang sendiri cuma produk dari suatu tahap tertentu dari evolusi pikiran manusia. Jika kita membalikkan semuanya itu, maka segala sesuatu menjadi sederhana, dan hukum-hukum dialektika yang tampak begitu luar-biasa misterius dalam filsafat idealis seketika menjadi sederhana dan jelas seperti siang-hari bolong. Alam semesta dan manusia merupakan misteri yang tak terpecahkan sampai sekarang. Keduanya memiliki korelasi yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Proses simbiosis mutualisme yang terjadi antara alam semesta dan manusia akan terus berlangsung selama manusia memperlakukan alam sewajarnya. Dengan logika dan etika manusia mencoba membuka dan memecahkan segala kebenaran yang tekandung pada penciptaan alam semesta. Dengan kesibukkan mereka yang hanya dapat berfikir tanpa memberikan solusi yang secara tidak langsung menyebabkan eksploitasi alam yang banyak terjadi dan telah menyebabkan ketidakseimbangan alam itu sendiri (Nature Imbalance) sehingga keberadaan dan keadaaan alam tidak dapat diprediksikan. Mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat manusia yang mempunyai daya nalar serta pola pikir yang lebih dibanding masyarakat lain pada umumnya dituntut untuk lebih siap baik mental maupun fisik, manakala mereka terjun kedalam kehidupan bermasyarakat yang harus mengaplikasikan sikapnya dengan melibatkan masyarakat dan alam (Lingkungan Sekitar) sebagai salah satu sarananya. Karena itu, hal yang sangat baik untuk menciptakan sebuah pemikiran antara keseimbangan manusia dan alam semesta yang merupakan dialektika keberagaman antara logika dan etika yang benar-benar seimbang yang dapat memberikan kontibusi baik itu terhadap masyarakat manusia maupun alam semesta. Persandingan antara Tuhan, Manusia, dan Alam Semesta adalah sebagai peranan inti dalam lingkaran kehidupan yang akan membuka pola pikir kita bahwa manusia tidak hanya diciptakan untuk selalu bersandingan dengan alam semesta saja, tetapi manusia di tuntut untuk mengerti akan pencipta-Nya. Manusia memiliki peranan yang sangat strategis, karena manusia dapat berinteraksi dgn manusia, alam semesta, dan sang Pencipta. Keharmonisan, keberagaman, dan keseimbangan antara etika dan logika dalam kehidupan akan tercipta jika setiap manusia memiliki nilai kemanusian yang tinggi. Namun semua itu tidaklah kekal, karena nilai tertinggi adalah nilai–nilai tentang kaberadaan Tuhan.

0 komentar: